Sebuah
langkah sedikit ragu dengan pijakan kaki yang sedikit perlahan pun terlihat mendekati
sebuah café. Tak henti-hentinya aku menatap sekeliling untuk memastikan bahwa
tidak ada ancaman, kembali kueratkan jaket kulit hitamku untuk menyembunyikan
senjataku. Aku membaca tulisan singkat café yang aku sedikit tak peduli dengan
itu, karena tujuan ku bukan pada café itu, melainkan pada sebuah gang yang
cukup kecil sekitar 10 meter dari café itu. Malam sudah semakin larut, aku
melihat jam tanganku sebentar dan jam sudah menunjukkan 10.36 p.m. Jalanan itu
juga sudah tampak sepi, hanya ada beberapa orang berlalu-lalang disana.
Langkahku mulai memasuki gang kecil itu yang disana terdapat lampu jalanan yang
mulai redup dan beberapa bak sampah berukuran besar disana.
Mataku kembali
berkeliling, dan ekor mataku menangkap sosok laki-laki berpakaian rapi dengan
beberapa orang disampingnya yang juga berpakaian rapi, namun tak semewah
laki-laki itu. Kupastikan orang-orang disekililingnya itu membawa senjata. Aku
benci tugasku ini.
Kakiku pun mulai
mendekati laki-laki itu, hingga hanya berjarak satu meter dengannya.
“Give
me your money” ucapku dingin pada laki-laki itu. Dia hanya tersenyum licik
padaku lalu mengisyaratkan orang disampingnya entah apa itu aku tampak tak
peduli. Orang itu lalu melempar sebuah koper coklat usang kearahku. Aku sedikit
berjongkok untuk memastikan bahwa didalam koper itu adalah uang. Benar, ada
banyak tumpukan uang dollar disana. Aku malas menghitungnya.
Aku mendekatkan lenganku
kearah wajahku. Ya, jaketku didesain khusus untuk beberapa tugas mematikan.
“Bawa kemari barangnya” ucapku perlahan pada benda kecil yang menempel dijaket
kulitku yang menghubungkannya dengan seseorang. Tak perlu menunggu lama,
seseorang berjalan kearahku sambil
membawa koper khusus berwarna hitam.
“Berikan
padanya” perintahku pada laki-laki disampingku sebut saja Rico. Aku melihat
Rico mendekat lalu melempar benda yang dipegangnya dan dengan sigap langsung
ditangkap oleh seorang disamping laki-laki berpakaian mewah itu. Beberapa orang
itu langsung melihat isi dari koper berukuran besar yang berisi senjata.
“Hum,
nice” ucap laki-laki itu sambil memegangi senjata itu.
Misi selesai aku
langsung membalikan badanku lalu berjalan menjauh dan diikuti Rico dibelakangku.
Namun sebuah teriakan membuatku menghentikan langkahku.
“Beautiful
girl. Sayang sekali jika tidak memiliki kekasih” kupastikan itu pasti suara
laki-laki itu. Apa peduliku? Aku kembali berjalan tak memedulikan teriakannya
barusan. Siapa juga yang mengharapkan ini?
Aku memasuki sebuah
rumah megah yang sering kusebut penjara, karena pagar yang menjulang tinggi
hingga membuat rumah ini tidak terlihat. Kurebahkan badanku yang sedikit lelah
diranjangku berwarna putih ini sambil kutatap langit-langit kamarku yang
berwarna hitam.
Perkenalkan namaku
adalah Alexia Petra, sering dipanggil Petra. Siapa yang berani memanggilku?
Hanya orang-orang tertentu. Kehidupanku jauh dari kata ‘nyaman’ bahkan dekat
dengan kematian. Ayahku seorang ketua gangster yang menguasai wilayah
Washington D.C. Aku pun memiliki seorang kakak perempuan yang begitu dingin
pada siapapun, dan sepertinya saat ini hidupnya hanya tertuju untuk mengabdi
pada sebuah kehidupan yang kusebut kehidupan biadab ini. Berbeda sekali
denganku, kakakku Monica selalu menyelesaikan tugasnya hingga benar-benar
tuntas dan rapi. Sedangkan aku, tiga minggu yang lalu bahkan aku hampir
menewaskan diriku sendiri karena polisi mencium keberadaanku saat melakukan
transaksi dengan klien. Sifatku yang sedikit ceroboh inilah yang membuatku sedikit
sukar untuk disuruh menyelesaikan misi dan yang tadi itu adalah misi ketigaku
yang terselesaikan. Bagaimana dengan Ibuku?
Dirinya sudah meninggal ditangan polisi padahal Ibuku tidak pernah ikut
andil dalam kegiatan yang Ayah lakukan, tapi memang itulah resiko dari istri
seorang ketua gangster.
Kegiatan yang dilakukan
oleh gangster yang dipimpin Ayahku memang cukup berani seperti penyelundupan
senjata, narkoba, perdagangan manusia, bahkan pengerusakan dan penganiayaan
yang begitu kejam juga dilakukan demi sebuah kekuasaan dan kekayaan.
Bagaimana dengan kisah
cintaku? Sungguh menyedihkan. Masih kuingat sekitar tiga tahun yang lalu aku
diam-diam menjalin kasih dengan seorang laki-laki bernama Felix yang
notabane-nya adalah anak buah Ayahku. Awalnya kami memang bahagia dengan hubungan
kami, namun saat hubungan kami berjalan tiga bulan Ayah mengetahui bahwa kami
menjalin kasih. Apa yang dilakukan Ayah? Felix tewas ditangan Ayah dengan
mengenaskannya.
Sungguh mengenaskan,
bahkan lima bulan yang lalu aku sempat berkenalan dengan orang asal Jepang
lewat social media. Baru beberapa minggu aku berhubungan dengannya, Ayah sudah
memblokir semua akses social mediaku tanpa seijinku. Bencikah aku pada Ayahku?
Tidak, karena satu-satunya yang kumiliki dan kupercayai dalam hidupku ini hanyalah
Ayah dan kakakku Monica. Walaupun mereka terlihat tidak peduli padaku, tapi aku
menyayangi mereka.
Aku mulai memejamkan
mataku untuk sedikit menghilangkan lelah dalam tubuhku dan juga pikiranku,
namun samar-samar aku mendengar suara Ayah yang menyebut namaku dari luar. Aku
tampak tidak peduli dan tidak ambil pusing dengan itu, karena kantukku sudah
semakin menjadi.
Matahari pagi ini tampak menyambutku dengan malu-malu.
Sepertinya pagi ini mendung. Aku mencoba terduduk dipinggir ranjangku dengan
kesadaranku. Aku mulai berdiri dan membuka sedikit kain yang menutup jendelaku.
Benar saja, pagi ini tampak mendung bahkan mulai ada titik-titik air yang turun
perlahan dari langit.
“It’s so bad” ucapku pelan sambil menatap jam weker
diatas meja kecil sebelah ranjangku. Aku tidak begitu suka hujan, entah kenapa.
Aku segera melangkahkan kakiku menuju pintu kamarku dan memutar kenop pintu
itu. Aku sedikit terkejut karena Rico sedang berdiri disamping pintu kamarku.
“Ada apa?” tanyaku pada laki-laki bawahan Ayahku ini.
Ayah memang mempercayai Rico untuk selalu menemaniku dalam setiap misiku,
begitu juga denganku yang percaya dengannya. Aku menyayanginya karena dia
selalu baik padaku seperti seorang kakak untukku. Dia memberiku sebuah kertas
sedikit panjang, semacam tiket. Mataku membulat sempurna saat membaca isi dari
kertas itu. Benar, ini sebuah tiket. Lebih tepatnya tiket pesawat.
Aku berjalan keruangan
pribadi milik Ayahku yang setiap waktu pasti akan dijaga dua orang pengawalnya.
Aku tampak tidak peduli dengan teriakan Rico yang terus memanggil namaku. Saat
ini aku hanya ingin menanyakan apa maksud Ayah.
“Dad! What is it?!” tanyaku sambil membanting pintu
ruangan Ayah dan mengacungkan tiket pesawat yang kubawa. Kulihat Ayah hanya
tersenyum padaku dan ia mendekatiku lalu mengelus kepalaku.
“Itu tugasmu selanjutnya. Daddy percaya kalau kau bisa
melakukannya, karena kakakmu sedang ada di Italia untuk mengurus yang lain. Kau
bisa? Daddy percaya padamu Petra” akhir ucapan Ayah. Aku sedikit mengerjapkan
mataku untuk memastikan bahwa ini hanya mimpi, namun aku salah. Ayah kembali
mengelus kepalaku lalu pergi meninggalkanku diruangan cukup besar ini. Tanganku
sedikit gemetar saat kembali membaca tiket pesawat itu. Bagaimana tidak, aku
harus pergi ke Jepang? Ini kali pertama aku pergi sangat jauh dari rumah. Tapi
apa? Aku memang tidak pernah menolak atau membantah apa yang diperintahkan
Ayah. Aku yakin Ayah sudah memikirkan matang-matang tentang kepergianku ini.
Aku menghela napasku berat sambil melangkah keluar ruangan Ayahku.
Aku melihat sudah ada
Rico yang berdiri menungguku diluar ruangan Ayahku. Matanya seperti
mengisyaratkan padaku ayo-cepat-kita-berangkat. Aku menganggukan kepalaku lalu
segera masuk kamar untuk bersiap.
Aku kembali menghela
napasku berat saat kakiku sudah menginjak di bandara Washington Dulles. Aku
melihat kesamping, melihat Rico yang sibuk menekan tablet putih miliknya.
Sepertinya sedang transaksi. Aku lalu memakai kacamata hitamku dan tak lupa
topi beserta jaket kulitku yang selalu menemaniku saat misi-misi seperti ini.
“Rico, apa yang kita lakukan sekarang?” ucapku setelah
kami duduk didalam pesawat. Dia hanya tersenyum lalu memperlihatkanku tablet
putihnya. Disana terpampang sebuah foto seorang laki-laki menggunakan jas rapi
dengan wajah khas Jepang-nya. Aku sedikit mengerutkan dahiku karena tidak paham
akan maksudnya.
“Dia yakuza di Jepang. Dia yang memesan senjata paling
canggih yang pernah kita buat” bisiknya padaku. Aku hanya mengangguk
seperlunya. Kudengar senjata terbaru itu seharga 1.200 juta dollar. Sepertinya
yakuza itu cukup kaya. Aku mulai memasang headsetku
dan mencoba menikmati lagu yang sedang berputar.
Aku tidak begitu
menikmati perjalananku, karena pikiranku sedang tidak fokus. Hingga kami sudah
tiba di bandara Osaka Jepang. Aku mulai berjalan menjauh dari bandara,
sepertinya sudah ada mobil yang sengaja disiapkan oleh Ayah untukku dan Rico
untuk menyelesaikan misi ini. Bagaimana dengan penyelundupan senjata kami?
Sepertinya baik-baik saja, kami tak sebodoh itu. Ada beberapa trik yang kami
lakukan untuk mengelabui para petugas bandara.
Aku mulai memasuki
mobil sedan hitam itu dan Rico tampak menuju bagian duduk sopir. Tepat sekali,
dia menyetir mobil itu. Mobil sudah mulai berjalan menjauhi bandara Osaka. Aku
mengambil ponselku dari saku celanaku
dan sedikit mengutak-atiknya.
“Kau bisa bahasa Jepang?” tanyaku pada Rico yang sibuk
menyetir.
“Tidak. Tapi sepertinya ketua yakuza itu tahu bagaimana
berbahasa inggris dengan benar” jawab Rico enteng.
Matahari sudah tampak
berada ditengah, namun ini tidak terasa panas karena awan kelabu mencoba
menutupi sinarnya. Ini bahkan sudah hampir dua jam perjalanan, tapi kenapa Rico
tidak juga menghentikan mobilnya? Aku menghela napasku berat sambil sesekali
melihat kearah luar. Tunggu, ini seperti sebuah hutan. Ya, ini jalan yang
membelah sebuah hutan.
Setelah beberapa menit
aku terpaku pada hutan ini, tiba-tiba Rico menghentikan mobilnya didepan sebuah
rumah usang yang sepertinya lama tidak ditinggali. Aku melihat Rico yang tampak
kembali melihat tablet putihnya.
“Ini tempatnya. Sepertinya mereka sudah didalam” ucap
Rico padaku.
“Tunggu saja dalam mobil. Aku akan memanggilmu jika aku
memerlukanmu” kataku sambil sibuk memasukkan pistol kedalam jaketku dan
mengambil barang yang sengaja disembunyikan dibawah jok mobil. Aku tersenyum
kearah Rico lalu segera turun dari mobil.
Aku terus melangkah
menuju rumah tua itu dan segera memasukinnya. Dalam rumah itu hanya ada sedikit
cahaya dari beberapa ventilasi yang sudah mulai rusak. Mataku juga menangkap
beberapa orang laki-laki didalam rumah itu, aku mulai sedikit mengaratkan
peganganku pada barang yang sedang kupegang saat seorang dari mereka
mendekatiku.
“STOP!” teriakku sambil menunjuknya dan seketika
laki-laki itu menghentikan langkahnya.
‘Plok Plok Plok’ suara tepukkan tangan terdengar menggema
dalam rumah itu. Aku sedikit memiringkan kepalaku untuk melihat siapa yang
menepukkan tangannya. Ketua yakuza itu? Aku masih ingat betul wajah itu, yang
tadi Rico sempat memperlihatkannya padaku dan aku yakin dia masih muda, mungkin
seumuranku. Ternyata itu orangnya, kuharap dia tidak menggunakan bahasa Jepang
yang sama sekali aku tidak paham.
“Great! Kau bawa barangnya?” beruntung dia tidak bertanya
dengan bahasa Jepangnya, walaupun aku sedikit ingin tertawa karena masih ada
sisa logatnya saat bertanya padaku dengan bahasa inggris.
“Ada uang ada barang” ucapku tegas. Seorang yang tadi
mendekatiku sedikit memundurkan badannya karena si yakuza itu mulai
mendekatiku, aku pun memundurkan beberapa langkahku. Namun yakuza itu malah
mengulurkan tangannya seolah mengajakku bersalaman.
“My name is Asanaka Tomoyuki” hah?! Apa ini, yakuza itu
malah memperkenalkan dirinya. Aku sedikit membuang muka padanya, dan tidak
berniat membalas uluran tangannya.
“Alexia Petra” jawabku singkat sambil meliriknya yang
saat ini sudah menarik kembali tangannya untuk masuk kedalam saku celananya.
Kulihat dia tertawa
kecil sambil menjentikkan jarinya, dan beberapa detik kemudian yang kuyakin
adalah pengawalnya itu segera membawa sebuah kertas cek. Ia mengacungkan kertas
itu dan memberikannya padaku, aku pun segera mengambil kertas itu.
“Ini barangnya!” ucapku tegas sambil memberikan barang
yang ada ditanganku padanya. Tidak sesuai dugaanku, yakuza itu malah menarik
tanganku kearahnya. Aku sedikit kaget karena tidak siap dengan apa yang
dilakukan yakuza itu.
Aku segera mendorongnya
kuat dan mengeluarkan senjataku, untuk pertama kali ini aku benar-benar mengacungkan
pistolku kearah klien.
“Wow wow, jangan tergesa. Tunggu sebentar” aku sedikit
mengerutkan dahiku karena ucapannya itu. Aku tidak tahu akan maksudnya, namun
aku tetap mengarahkan pistolku kearahnya. Aku melihatnya mengotak-atik
ponselnya.
“Halo~” menelpon? Apa yang dia inginkan? Dia lalu
menjauhkan ponselnya lalu sengaja me-loudspeaker
nya.
“Halo..” suara Ayah?
“Boleh aku membeli putrimu?” Yakuza itu bertanya apa
barusan?! Dari sana aku mendengar Ayah sedikit terdiam. Jangan Ayah, mohonku
dalam hati.
“Berapa harga yang kau tawarkan?” aku kembali mendengar
perkataan Ayah, rasanya persendianku mulai melemah.
“Bagaimana kalau 20 kali lipat dari harga senjatamu ini?”
“Deal” aku mendengar Ayah menjawab dengan singkat. Aku
tidak bisa berpikir lagi. Aku lihat seorang pengawal yakuza itu mendekatinya
dan memberikan tablet berwana hitam, sedikit mengutak-atiknya.
“Sudah kukirim ke rekeningmu. Silahkan dicek, senang
bekerjasama dengan anda” telpon itu berakhir. Aku tetap membeku dalam posisiku.
Aku pun masih mengacungkan pistolku kearah yakuza itu.
“Bagaimana? Sekarang kau jadi milikku, kau tidak bisa
membantah” yakuza itu mulai mendekatiku dan aku pun segera membalikkan badanku
dengan sigap untuk keluar dari rumah tua yang terkutuk itu. Baru beberapa langkah
aku berlari kearah pintu rumah itu tiba-tiba sudah ada dua lengan besar yang
menahanku, aku mulai sedikit berontak. Salah satu dari mereka merebut paksa
pistolku.
“Jangan pernah main-main denganku Petra!” aku memiringkan
kepalaku saat mendengar teriakan dari Asanaka yang sudah berdiri dihadapanku.
Aku tidak berdaya. Kedua orang yang menahanku langsung membawaku keluar rumah
itu. Mataku lalu menangkap sosok yang sedikit panik saat melihatku.
“Rico Run!” namun Rico masih terdiam seolah tidak paham apa
yang kukatakan.
“RUN!” teriakku keras dan setelah beberapa detik aku
berteriak tiba-tiba pandanganku sudah kabur. Apa yang terjadi? Apa Ayah
membenciku?
Aku sedikit
menggerakkan badanku, rasanya pegal semua. Perlahan aku membuka mataku dan yang
kulihat adalah langit-langit kamar yang berwarna merah darah. Aku sedikit
meraba tempat yang sedang kutiduri, sebuah ranjang berukuran besar dan aku
lihat ada sebuah sekat antara ruangan ini dengan ruangan luarnya yang hanya
dibatasi dengan kaca buram.
Aku mulai terduduk, aku
sedikit menundukkan kepalaku. Lihat, bagaimama aku tidak terkejut. Aku hanya
menggunakan celana jeans pendek
selutut dan sebuah kemeja putih kebesaran. Sejak kapan aku mengganti bajuku.
“Kau sudah bangun?” sebuah suara bass sedikit mengagetkanku. Asanaka.
“Kau?! Apa yang kau lakukan..” aku menghentikan
perkataanku karena tiba-tiba Asanaka memotongnya.
“Apa kau tidak gerah? Ini sudah hari keempat kau tidak
mandi” ucapnya dingin lalu meninggalkan diriku. Dia itu sebenarnya siapa? Apa
pedulinya padaku?
“Semua persiapan mandimu sudah ada dikamar mandi” ucapnya
lagi sambil berjalan meninggalkanku.
Aku tidak tahu apa yang
dia inginkan. Aku bahkan tidak mengenalnya, atau dia yang mengenalku. Untuk apa
aku dibelinya? Menjadi pembantunya? Menjadi mangsanya? Jika iya, kenapa aku
tidur ditempat senyaman itu dan menyiapkan semua keperluanku.
Usai mandi aku sedikit
berjalan menuju ruangan yang hanya disekat oleh kaca buram dengan kamar ini.
Aku sedikit melongokkan kepalaku dan bau anyir begitu menyengat indera
penciumanku. Tidak ada darah dalam ruangan itu. Hanya ada dua pintu disana,
pintu kayu berukuran besar dan pintu berukuran sedang. Aku mulai tergerak untuk
melihat apa yang sebenarnya ada didalam pintu kayu berukuran sedang itu. Aku
berjalan kearahnya dan sedikit membuka pintu itu.
“Haha! Kau bahkan tidak mau mengaku!” aku melihat Asanaka
menjambak seorang yang sedang terikat berlutut padanya. Kepalanya sudah sedikit
berlumur darah.
“Tidak! Dan tidak akan pernah!” tolak orang itu. Asanaka
lalu melepaskan cengkramannya pada kepala orang itu dan segera mengeluarkan
pistolnya.
“Kau juga ingin berakhir seperti yang lain ternyata”
‘DUAARR’
timah panas itu mengarah pada kepala orang itu. Aku membelalakkan mataku. Aku
belum pernah melihat pembunuhan macam ini, karena setiap Ayah mengeksekusi
korbannya aku tidak akan mau dan tidak akan pernah utnuk melihatnya. Namun
sekarang, aku malah melihatnya. Apakah aku juga akan berakhir sepertinya.
Aku terduduk saat orang
itu bukan dia bahkan sudah menjadi mayat itu terkulai lemas dengan banyak darah
yang keluar dari kepalanya. Aku benci ini. Apa yang sebenarnya Asanaka inginkan
dariku?
“Petra? Kau mau melihat eksekusi ini?” tanyanya padaku
sambil tersenyum saat menyadari keberadaanku. Bahkan dia terlihat biasa saja setelah
merenggut nyawa orang. Dia itu apa? Apakah nyawa seseorang hanya seperti sebuah
mainan? Bahkan dia sempat tersenyum kearahku. Apa dia itu monster dengan fisik
manusia?
Aku berdiri lalu
meninggalkan ruangan itu. Aku ingin keluar dari sini, kabur mungkin. Aku
berjalan menuju pintu besar itu yang aku yakin disitulah jalan keluar. Belum
sempat aku membukanya tiba-tiba ada sebuah tangan yang menahan pintu itu.
“What are you doing Petra?” aku membalikkan badanku untuk
memberanikan diri.
“Apa yang kau inginkan dariku hah?!” teriakku. Aku mulai
mencoba untuk menamparnya. Namun tangannya dengan sigap menahanku. “Tidak ada,
aku hanya ingin kau disini tak pergi jauh-jauh dariku” aku mulai berontak dan
ada sebuah jarum suntik menembus lenganku yang membuat mataku mulai kabur.
“Maaf Petra, aku harus melakukan ini” aku mendengar
Asanaka berkata.
“Kau seperti Monster” ucapku dan akhirnya aku benar-benar
kehilangan kesadaranku.
Aku sedikit memegangi
kepalaku, rasanya berat sekali. Pengaruh obat biusnya masih membekas ternyata.
Aku melihat kesekeliling, gelap. Apa ini malam? Aku bahkan tidak tahu ini malam
atau pagi, karena ruangan ini begitu tertutup.
“Nona. Anda sudah bangun?” aku mendengar seseorang masuk
kedalam kamar ini. Aku sedikit tidak paham karena dia menggunakan bahasa
Jepangnya. Aku yakin dia adalah maid
disini dari seragamnya aku bisa mengetahuinya.
“Ohh, Petra kau sudah bangun?” suara khas milik Asanaka
menyambutku.
“Apa maumu?!” tanyaku keras. Aku menatap kearahnya yang
sedang sibuk berbincang dengan maid
itu, lalu setelahnya maid itu pergi.
Asanaka mulai mendekatiku dan aku sibuk mngembil selimut tebal yang sekarang
ada dibadanku.
“Tidak perlu takut. Apa kau tidak ingat sama sekali
denganku?” hah?! Apa? Mengenalnya saja tidak apalagi mengingatnya. “Pergi dari
hadapanku!” teriakku lagi. Dia menghentikan langkahnya lalu kembali menatapku
dengan mata tajamnya.
“Cepat bersiap! Aku akan mengajakmu kesuatu tempat” aku
membulatkan mataku. Asanaka lalu keluar dari kamar ini dan beberapa detik
kemudian beberapa maid perempuan
masuk dan menyiapkan segala keperluanku. Lihat aku sekarang menggunakkan dress putih selutut dan wedges yang berwana senada. Apa
maksudnya ini?
“Kau sudah siap?” aku melihat kearah suara itu. Asanaka?
Dia memakai tuxedo berwarna hitam
yang cocok dengannya. Tampan.
Sekarang apa? Aku
dibawanya kedalam sebuah pesta resmi. Dengan pengawalan ketat yang jelas. Semua
mata tertuju pada kami, mungkin karena wajahku yang bukan orang Asia. Aku
sedikit memalingkan wajahku untuk menghilangkan rasa takutku.
Pesta itu berjalan
cukup lama, rasanya aku ingin kabur dari pesta itu. Namun tangan Asanaka terus
tergenggam erat dengan tanganku. Entah ide darimana, tiba-tiba Asanaka
mengajakku berdansa dengannya. Aku sedikit ragu saat mengalungkan tanganku
dilehaernya, namun dia memaksa. Tangannya pun sudah melingkar dipinggangku.
“Aku ingin memberitahumu sesuatu yang begitu besar.
Mungkin selama ini kau bertanya untuk apa aku membelimu” aku sedikit mengerutkan
dahiku. Asanaka sedikit menggerakkan tangannya lalu mengeluarkan ponselnya lalu
menempelkannya ditelingaku. Sebuah suara mulai kudengar dari ponsel itu. Suara
Ayah?
‘Asanaka, aku yakin kau
bisa menjaga anakku. Markas milikku sudah terendus polisi, tidak lama lagi aku
akan dihukum mati, aku sudah berusaha sampai sejauh ini untuk kedua anakku.
Tolong jaga Petra untukku, aku tahu kau adalah orang yang berhubungan dengan
Petra tiga bulan yang lalu dan aku yakin kau bisa menjaganya. Jangan beritahu
ini pada Petra, biarkan dia membenciku. PIIP’ suara berhenti. Aku membelalakkan
mataku, sebuah tetesan airmata keluar. Jadi Asanaka adalah orang yang aku suka
dan Ayah rela mati demi aku.
“Aku menyukaimu Petra, aku tidak akan membiarkanmu pergi.
Saat ini polisi mencoba mencari kakakmu dan kau. Aku akan menjagamu sampai aku
benar-benar mati”
“Aku juga mencintaimu Asanaka. Maaf aku sudah berpikiran
buruk tentangmu” ucapku sambil terisak dan memeluknya begitu erat.
‘DUAARR’ sebuah timah
penas mengenai lenganku dan darah mulai merembes pada drees ku yang berwarna putih. Aku sedikit mengaduh. “Kita pergi
dari sini segera Petra. Polisi tampaknya sudah mulai mengetahui keberadanmu”
Asanaka segera menggendongku dipunggunya lalu keluar dari gedung itu yang sudah
mulai ramai dengan suara tembakan.
Cinta itu rela mati,
cinta itu rela berbuat apa saja pada orang yang dicintai. Walaupun cinta atau
mati tidak dapat dipisahakan, namun itulah yang harus terjadi.