Sabtu, 25 Oktober 2014

'Amnesia' by 5 Seconds Of Summer



I drove by all the places we used to hang out getting wasted
I thought about our last kiss, how it felt the way you tasted
And even though your friends tell me you're doing fine

Are you somewhere feeling lonely even though he's right beside you?
When he says those words that hurt you, do you read the ones I wrote you?

Sometimes I start to wonder, was it just a lie?
If what we had was real, how could you be fine?

'Cause I'm not fine at all

I remember the day you told me you were leaving
I remember the make-up running down your face
And the dreams you left behind you didn't need them
Like every single wish we ever made
I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things
Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never can escape

'Cause I'm not fine at all

The pictures that you sent me they're still living in my phone
I'll admit I like to see them, I'll admit I feel alone
And all my friends keep asking why I'm not around

It hurts to know you're happy, yeah, it hurts that you've moved on
It's hard to hear your name when I haven't seen you in so long

It's like we never happened, was it just a lie?
If what we had was real, how could you be fine?

'Cause I'm not fine at all

I remember the day you told me you were leaving
I remember the make-up running down your face
And the dreams you left behind you didn't need them
Like every single wish we ever made
I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things
Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never can escape

If today I woke up with you right beside me
Like all of this was just some twisted dream
I'd hold you closer than I ever did before
And you'd never slip away
And you'd never hear me say

I remember the day you told me you were leaving
I remember the make-up running down your face
And the dreams you left behind you didn't need them
Like every single wish we ever made
I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things
Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never can escape


'Cause I'm not fine at all

No, I'm really not fine at all

Tell me this is just a dream

'Cause I'm really not fine at all

Senin, 23 Juni 2014

Cerita Pendek : 'Monster'

Sebuah langkah sedikit ragu dengan pijakan kaki yang sedikit perlahan pun terlihat mendekati sebuah café. Tak henti-hentinya aku menatap sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada ancaman, kembali kueratkan jaket kulit hitamku untuk menyembunyikan senjataku. Aku membaca tulisan singkat café yang aku sedikit tak peduli dengan itu, karena tujuan ku bukan pada café itu, melainkan pada sebuah gang yang cukup kecil sekitar 10 meter dari café itu. Malam sudah semakin larut, aku melihat jam tanganku sebentar dan jam sudah menunjukkan 10.36 p.m. Jalanan itu juga sudah tampak sepi, hanya ada beberapa orang berlalu-lalang disana. Langkahku mulai memasuki gang kecil itu yang disana terdapat lampu jalanan yang mulai redup dan beberapa bak sampah berukuran besar disana.
Mataku kembali berkeliling, dan ekor mataku menangkap sosok laki-laki berpakaian rapi dengan beberapa orang disampingnya yang juga berpakaian rapi, namun tak semewah laki-laki itu. Kupastikan orang-orang disekililingnya itu membawa senjata. Aku benci tugasku ini.
Kakiku pun mulai mendekati laki-laki itu, hingga hanya berjarak satu meter dengannya.
“Give me your money” ucapku dingin pada laki-laki itu. Dia hanya tersenyum licik padaku lalu mengisyaratkan orang disampingnya entah apa itu aku tampak tak peduli. Orang itu lalu melempar sebuah koper coklat usang kearahku. Aku sedikit berjongkok untuk memastikan bahwa didalam koper itu adalah uang. Benar, ada banyak tumpukan uang dollar disana. Aku malas menghitungnya.
Aku mendekatkan lenganku kearah wajahku. Ya, jaketku didesain khusus untuk beberapa tugas mematikan. “Bawa kemari barangnya” ucapku perlahan pada benda kecil yang menempel dijaket kulitku yang menghubungkannya dengan seseorang. Tak perlu menunggu lama, seseorang  berjalan kearahku sambil membawa koper khusus berwarna hitam.
“Berikan padanya” perintahku pada laki-laki disampingku sebut saja Rico. Aku melihat Rico mendekat lalu melempar benda yang dipegangnya dan dengan sigap langsung ditangkap oleh seorang disamping laki-laki berpakaian mewah itu. Beberapa orang itu langsung melihat isi dari koper berukuran besar yang berisi senjata.
“Hum, nice” ucap laki-laki itu sambil memegangi senjata itu.
Misi selesai aku langsung membalikan badanku lalu berjalan menjauh dan diikuti Rico dibelakangku. Namun sebuah teriakan membuatku menghentikan langkahku.
“Beautiful girl. Sayang sekali jika tidak memiliki kekasih” kupastikan itu pasti suara laki-laki itu. Apa peduliku? Aku kembali berjalan tak memedulikan teriakannya barusan. Siapa juga yang mengharapkan ini?
Aku memasuki sebuah rumah megah yang sering kusebut penjara, karena pagar yang menjulang tinggi hingga membuat rumah ini tidak terlihat. Kurebahkan badanku yang sedikit lelah diranjangku berwarna putih ini sambil kutatap langit-langit kamarku yang berwarna hitam.
Perkenalkan namaku adalah Alexia Petra, sering dipanggil Petra. Siapa yang berani memanggilku? Hanya orang-orang tertentu. Kehidupanku jauh dari kata ‘nyaman’ bahkan dekat dengan kematian. Ayahku seorang ketua gangster yang menguasai wilayah Washington D.C. Aku pun memiliki seorang kakak perempuan yang begitu dingin pada siapapun, dan sepertinya saat ini hidupnya hanya tertuju untuk mengabdi pada sebuah kehidupan yang kusebut kehidupan biadab ini. Berbeda sekali denganku, kakakku Monica selalu menyelesaikan tugasnya hingga benar-benar tuntas dan rapi. Sedangkan aku, tiga minggu yang lalu bahkan aku hampir menewaskan diriku sendiri karena polisi mencium keberadaanku saat melakukan transaksi dengan klien. Sifatku yang sedikit ceroboh inilah yang membuatku sedikit sukar untuk disuruh menyelesaikan misi dan yang tadi itu adalah misi ketigaku yang terselesaikan. Bagaimana dengan Ibuku?  Dirinya sudah meninggal ditangan polisi padahal Ibuku tidak pernah ikut andil dalam kegiatan yang Ayah lakukan, tapi memang itulah resiko dari istri seorang ketua gangster.
Kegiatan yang dilakukan oleh gangster yang dipimpin Ayahku memang cukup berani seperti penyelundupan senjata, narkoba, perdagangan manusia, bahkan pengerusakan dan penganiayaan yang begitu kejam juga dilakukan demi sebuah kekuasaan dan kekayaan.
Bagaimana dengan kisah cintaku? Sungguh menyedihkan. Masih kuingat sekitar tiga tahun yang lalu aku diam-diam menjalin kasih dengan seorang laki-laki bernama Felix yang notabane-nya adalah anak buah Ayahku. Awalnya kami memang bahagia dengan hubungan kami, namun saat hubungan kami berjalan tiga bulan Ayah mengetahui bahwa kami menjalin kasih. Apa yang dilakukan Ayah? Felix tewas ditangan Ayah dengan mengenaskannya.
Sungguh mengenaskan, bahkan lima bulan yang lalu aku sempat berkenalan dengan orang asal Jepang lewat social media. Baru beberapa minggu aku berhubungan dengannya, Ayah sudah memblokir semua akses social mediaku tanpa seijinku. Bencikah aku pada Ayahku? Tidak, karena satu-satunya yang kumiliki dan kupercayai dalam hidupku ini hanyalah Ayah dan kakakku Monica. Walaupun mereka terlihat tidak peduli padaku, tapi aku menyayangi mereka.
Aku mulai memejamkan mataku untuk sedikit menghilangkan lelah dalam tubuhku dan juga pikiranku, namun samar-samar aku mendengar suara Ayah yang menyebut namaku dari luar. Aku tampak tidak peduli dan tidak ambil pusing dengan itu, karena kantukku sudah semakin menjadi.
            Matahari pagi ini tampak menyambutku dengan malu-malu. Sepertinya pagi ini mendung. Aku mencoba terduduk dipinggir ranjangku dengan kesadaranku. Aku mulai berdiri dan membuka sedikit kain yang menutup jendelaku. Benar saja, pagi ini tampak mendung bahkan mulai ada titik-titik air yang turun perlahan dari langit.
            “It’s so bad” ucapku pelan sambil menatap jam weker diatas meja kecil sebelah ranjangku. Aku tidak begitu suka hujan, entah kenapa. Aku segera melangkahkan kakiku menuju pintu kamarku dan memutar kenop pintu itu. Aku sedikit terkejut karena Rico sedang berdiri disamping pintu kamarku.
            “Ada apa?” tanyaku pada laki-laki bawahan Ayahku ini. Ayah memang mempercayai Rico untuk selalu menemaniku dalam setiap misiku, begitu juga denganku yang percaya dengannya. Aku menyayanginya karena dia selalu baik padaku seperti seorang kakak untukku. Dia memberiku sebuah kertas sedikit panjang, semacam tiket. Mataku membulat sempurna saat membaca isi dari kertas itu. Benar, ini sebuah tiket. Lebih tepatnya tiket pesawat.
Aku berjalan keruangan pribadi milik Ayahku yang setiap waktu pasti akan dijaga dua orang pengawalnya. Aku tampak tidak peduli dengan teriakan Rico yang terus memanggil namaku. Saat ini aku hanya ingin menanyakan apa maksud Ayah.
            “Dad! What is it?!” tanyaku sambil membanting pintu ruangan Ayah dan mengacungkan tiket pesawat yang kubawa. Kulihat Ayah hanya tersenyum padaku dan ia mendekatiku lalu mengelus kepalaku.
            “Itu tugasmu selanjutnya. Daddy percaya kalau kau bisa melakukannya, karena kakakmu sedang ada di Italia untuk mengurus yang lain. Kau bisa? Daddy percaya padamu Petra” akhir ucapan Ayah. Aku sedikit mengerjapkan mataku untuk memastikan bahwa ini hanya mimpi, namun aku salah. Ayah kembali mengelus kepalaku lalu pergi meninggalkanku diruangan cukup besar ini. Tanganku sedikit gemetar saat kembali membaca tiket pesawat itu. Bagaimana tidak, aku harus pergi ke Jepang? Ini kali pertama aku pergi sangat jauh dari rumah. Tapi apa? Aku memang tidak pernah menolak atau membantah apa yang diperintahkan Ayah. Aku yakin Ayah sudah memikirkan matang-matang tentang kepergianku ini. Aku menghela napasku berat sambil melangkah keluar ruangan Ayahku.
Aku melihat sudah ada Rico yang berdiri menungguku diluar ruangan Ayahku. Matanya seperti mengisyaratkan padaku ayo-cepat-kita-berangkat. Aku menganggukan kepalaku lalu segera masuk kamar untuk bersiap.
Aku kembali menghela napasku berat saat kakiku sudah menginjak di bandara Washington Dulles. Aku melihat kesamping, melihat Rico yang sibuk menekan tablet putih miliknya. Sepertinya sedang transaksi. Aku lalu memakai kacamata hitamku dan tak lupa topi beserta jaket kulitku yang selalu menemaniku saat misi-misi seperti ini.
            “Rico, apa yang kita lakukan sekarang?” ucapku setelah kami duduk didalam pesawat. Dia hanya tersenyum lalu memperlihatkanku tablet putihnya. Disana terpampang sebuah foto seorang laki-laki menggunakan jas rapi dengan wajah khas Jepang-nya. Aku sedikit mengerutkan dahiku karena tidak paham akan maksudnya.
            “Dia yakuza di Jepang. Dia yang memesan senjata paling canggih yang pernah kita buat” bisiknya padaku. Aku hanya mengangguk seperlunya. Kudengar senjata terbaru itu seharga 1.200 juta dollar. Sepertinya yakuza itu cukup kaya. Aku mulai memasang headsetku dan mencoba menikmati lagu yang sedang berputar.
Aku tidak begitu menikmati perjalananku, karena pikiranku sedang tidak fokus. Hingga kami sudah tiba di bandara Osaka Jepang. Aku mulai berjalan menjauh dari bandara, sepertinya sudah ada mobil yang sengaja disiapkan oleh Ayah untukku dan Rico untuk menyelesaikan misi ini. Bagaimana dengan penyelundupan senjata kami? Sepertinya baik-baik saja, kami tak sebodoh itu. Ada beberapa trik yang kami lakukan untuk mengelabui para petugas bandara.
Aku mulai memasuki mobil sedan hitam itu dan Rico tampak menuju bagian duduk sopir. Tepat sekali, dia menyetir mobil itu. Mobil sudah mulai berjalan menjauhi bandara Osaka. Aku mengambil  ponselku dari saku celanaku dan sedikit mengutak-atiknya.
            “Kau bisa bahasa Jepang?” tanyaku pada Rico yang sibuk menyetir.
            “Tidak. Tapi sepertinya ketua yakuza itu tahu bagaimana berbahasa inggris dengan benar” jawab Rico enteng.
Matahari sudah tampak berada ditengah, namun ini tidak terasa panas karena awan kelabu mencoba menutupi sinarnya. Ini bahkan sudah hampir dua jam perjalanan, tapi kenapa Rico tidak juga menghentikan mobilnya? Aku menghela napasku berat sambil sesekali melihat kearah luar. Tunggu, ini seperti sebuah hutan. Ya, ini jalan yang membelah sebuah hutan.
Setelah beberapa menit aku terpaku pada hutan ini, tiba-tiba Rico menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah usang yang sepertinya lama tidak ditinggali. Aku melihat Rico yang tampak kembali melihat tablet putihnya.
            “Ini tempatnya. Sepertinya mereka sudah didalam” ucap Rico padaku.
            “Tunggu saja dalam mobil. Aku akan memanggilmu jika aku memerlukanmu” kataku sambil sibuk memasukkan pistol kedalam jaketku dan mengambil barang yang sengaja disembunyikan dibawah jok mobil. Aku tersenyum kearah Rico lalu segera turun dari mobil.
Aku terus melangkah menuju rumah tua itu dan segera memasukinnya. Dalam rumah itu hanya ada sedikit cahaya dari beberapa ventilasi yang sudah mulai rusak. Mataku juga menangkap beberapa orang laki-laki didalam rumah itu, aku mulai sedikit mengaratkan peganganku pada barang yang sedang kupegang saat seorang dari mereka mendekatiku.
            “STOP!” teriakku sambil menunjuknya dan seketika laki-laki itu menghentikan langkahnya.
            ‘Plok Plok Plok’ suara tepukkan tangan terdengar menggema dalam rumah itu. Aku sedikit memiringkan kepalaku untuk melihat siapa yang menepukkan tangannya. Ketua yakuza itu? Aku masih ingat betul wajah itu, yang tadi Rico sempat memperlihatkannya padaku dan aku yakin dia masih muda, mungkin seumuranku. Ternyata itu orangnya, kuharap dia tidak menggunakan bahasa Jepang yang sama sekali aku tidak paham.
            “Great! Kau bawa barangnya?” beruntung dia tidak bertanya dengan bahasa Jepangnya, walaupun aku sedikit ingin tertawa karena masih ada sisa logatnya saat bertanya padaku dengan bahasa inggris.
            “Ada uang ada barang” ucapku tegas. Seorang yang tadi mendekatiku sedikit memundurkan badannya karena si yakuza itu mulai mendekatiku, aku pun memundurkan beberapa langkahku. Namun yakuza itu malah mengulurkan tangannya seolah mengajakku bersalaman.
            “My name is Asanaka Tomoyuki” hah?! Apa ini, yakuza itu malah memperkenalkan dirinya. Aku sedikit membuang muka padanya, dan tidak berniat membalas uluran tangannya.
            “Alexia Petra” jawabku singkat sambil meliriknya yang saat ini sudah menarik kembali tangannya untuk masuk kedalam saku celananya.
Kulihat dia tertawa kecil sambil menjentikkan jarinya, dan beberapa detik kemudian yang kuyakin adalah pengawalnya itu segera membawa sebuah kertas cek. Ia mengacungkan kertas itu dan memberikannya padaku, aku pun segera mengambil kertas itu.
            “Ini barangnya!” ucapku tegas sambil memberikan barang yang ada ditanganku padanya. Tidak sesuai dugaanku, yakuza itu malah menarik tanganku kearahnya. Aku sedikit kaget karena tidak siap dengan apa yang dilakukan yakuza itu.
Aku segera mendorongnya kuat dan mengeluarkan senjataku, untuk pertama kali ini aku benar-benar mengacungkan pistolku kearah klien.
            “Wow wow, jangan tergesa. Tunggu sebentar” aku sedikit mengerutkan dahiku karena ucapannya itu. Aku tidak tahu akan maksudnya, namun aku tetap mengarahkan pistolku kearahnya. Aku melihatnya mengotak-atik ponselnya.
            “Halo~” menelpon? Apa yang dia inginkan? Dia lalu menjauhkan ponselnya lalu sengaja me-loudspeaker nya.
            “Halo..” suara Ayah?
            “Boleh aku membeli putrimu?” Yakuza itu bertanya apa barusan?! Dari sana aku mendengar Ayah sedikit terdiam. Jangan Ayah, mohonku dalam hati.
            “Berapa harga yang kau tawarkan?” aku kembali mendengar perkataan Ayah, rasanya persendianku mulai melemah.
            “Bagaimana kalau 20 kali lipat dari harga senjatamu ini?”
            “Deal” aku mendengar Ayah menjawab dengan singkat. Aku tidak bisa berpikir lagi. Aku lihat seorang pengawal yakuza itu mendekatinya dan memberikan tablet berwana hitam, sedikit mengutak-atiknya.
            “Sudah kukirim ke rekeningmu. Silahkan dicek, senang bekerjasama dengan anda” telpon itu berakhir. Aku tetap membeku dalam posisiku. Aku pun masih mengacungkan pistolku kearah yakuza itu.
            “Bagaimana? Sekarang kau jadi milikku, kau tidak bisa membantah” yakuza itu mulai mendekatiku dan aku pun segera membalikkan badanku dengan sigap untuk keluar dari rumah tua yang terkutuk itu. Baru beberapa langkah aku berlari kearah pintu rumah itu tiba-tiba sudah ada dua lengan besar yang menahanku, aku mulai sedikit berontak. Salah satu dari mereka merebut paksa pistolku.
            “Jangan pernah main-main denganku Petra!” aku memiringkan kepalaku saat mendengar teriakan dari Asanaka yang sudah berdiri dihadapanku. Aku tidak berdaya. Kedua orang yang menahanku langsung membawaku keluar rumah itu. Mataku lalu menangkap sosok yang sedikit panik saat melihatku.
            “Rico Run!” namun Rico masih terdiam seolah tidak paham apa yang kukatakan.
            “RUN!” teriakku keras dan setelah beberapa detik aku berteriak tiba-tiba pandanganku sudah kabur. Apa yang terjadi? Apa Ayah membenciku?
Aku sedikit menggerakkan badanku, rasanya pegal semua. Perlahan aku membuka mataku dan yang kulihat adalah langit-langit kamar yang berwarna merah darah. Aku sedikit meraba tempat yang sedang kutiduri, sebuah ranjang berukuran besar dan aku lihat ada sebuah sekat antara ruangan ini dengan ruangan luarnya yang hanya dibatasi dengan kaca buram.
Aku mulai terduduk, aku sedikit menundukkan kepalaku. Lihat, bagaimama aku tidak terkejut. Aku hanya menggunakan celana jeans pendek selutut dan sebuah kemeja putih kebesaran. Sejak kapan aku mengganti bajuku.
            “Kau sudah bangun?” sebuah suara bass sedikit mengagetkanku. Asanaka.
            “Kau?! Apa yang kau lakukan..” aku menghentikan perkataanku karena tiba-tiba Asanaka memotongnya.
            “Apa kau tidak gerah? Ini sudah hari keempat kau tidak mandi” ucapnya dingin lalu meninggalkan diriku. Dia itu sebenarnya siapa? Apa pedulinya padaku?
            “Semua persiapan mandimu sudah ada dikamar mandi” ucapnya lagi sambil berjalan meninggalkanku.
Aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Aku bahkan tidak mengenalnya, atau dia yang mengenalku. Untuk apa aku dibelinya? Menjadi pembantunya? Menjadi mangsanya? Jika iya, kenapa aku tidur ditempat senyaman itu dan menyiapkan semua keperluanku.
Usai mandi aku sedikit berjalan menuju ruangan yang hanya disekat oleh kaca buram dengan kamar ini. Aku sedikit melongokkan kepalaku dan bau anyir begitu menyengat indera penciumanku. Tidak ada darah dalam ruangan itu. Hanya ada dua pintu disana, pintu kayu berukuran besar dan pintu berukuran sedang. Aku mulai tergerak untuk melihat apa yang sebenarnya ada didalam pintu kayu berukuran sedang itu. Aku berjalan kearahnya dan sedikit membuka pintu itu.
            “Haha! Kau bahkan tidak mau mengaku!” aku melihat Asanaka menjambak seorang yang sedang terikat berlutut padanya. Kepalanya sudah sedikit berlumur darah.
            “Tidak! Dan tidak akan pernah!” tolak orang itu. Asanaka lalu melepaskan cengkramannya pada kepala orang itu dan segera mengeluarkan pistolnya.
            “Kau juga ingin berakhir seperti yang lain ternyata”
‘DUAARR’ timah panas itu mengarah pada kepala orang itu. Aku membelalakkan mataku. Aku belum pernah melihat pembunuhan macam ini, karena setiap Ayah mengeksekusi korbannya aku tidak akan mau dan tidak akan pernah utnuk melihatnya. Namun sekarang, aku malah melihatnya. Apakah aku juga akan berakhir sepertinya.
Aku terduduk saat orang itu bukan dia bahkan sudah menjadi mayat itu terkulai lemas dengan banyak darah yang keluar dari kepalanya. Aku benci ini. Apa yang sebenarnya Asanaka inginkan dariku?
            “Petra? Kau mau melihat eksekusi ini?” tanyanya padaku sambil tersenyum saat menyadari keberadaanku. Bahkan dia terlihat biasa saja setelah merenggut nyawa orang. Dia itu apa? Apakah nyawa seseorang hanya seperti sebuah mainan? Bahkan dia sempat tersenyum kearahku. Apa dia itu monster dengan fisik manusia?
Aku berdiri lalu meninggalkan ruangan itu. Aku ingin keluar dari sini, kabur mungkin. Aku berjalan menuju pintu besar itu yang aku yakin disitulah jalan keluar. Belum sempat aku membukanya tiba-tiba ada sebuah tangan yang menahan pintu itu.
            “What are you doing Petra?” aku membalikkan badanku untuk memberanikan diri.
            “Apa yang kau inginkan dariku hah?!” teriakku. Aku mulai mencoba untuk menamparnya. Namun tangannya dengan sigap menahanku. “Tidak ada, aku hanya ingin kau disini tak pergi jauh-jauh dariku” aku mulai berontak dan ada sebuah jarum suntik menembus lenganku yang membuat mataku mulai kabur.
            “Maaf Petra, aku harus melakukan ini” aku mendengar Asanaka berkata.
            “Kau seperti Monster” ucapku dan akhirnya aku benar-benar kehilangan kesadaranku.
Aku sedikit memegangi kepalaku, rasanya berat sekali. Pengaruh obat biusnya masih membekas ternyata. Aku melihat kesekeliling, gelap. Apa ini malam? Aku bahkan tidak tahu ini malam atau pagi, karena ruangan ini begitu tertutup.
            “Nona. Anda sudah bangun?” aku mendengar seseorang masuk kedalam kamar ini. Aku sedikit tidak paham karena dia menggunakan bahasa Jepangnya. Aku yakin dia adalah maid disini dari seragamnya aku bisa mengetahuinya.
            “Ohh, Petra kau sudah bangun?” suara khas milik Asanaka menyambutku.
            “Apa maumu?!” tanyaku keras. Aku menatap kearahnya yang sedang sibuk berbincang dengan maid itu, lalu setelahnya maid itu pergi. Asanaka mulai mendekatiku dan aku sibuk mngembil selimut tebal yang sekarang ada dibadanku.
            “Tidak perlu takut. Apa kau tidak ingat sama sekali denganku?” hah?! Apa? Mengenalnya saja tidak apalagi mengingatnya. “Pergi dari hadapanku!” teriakku lagi. Dia menghentikan langkahnya lalu kembali menatapku dengan mata tajamnya.
            “Cepat bersiap! Aku akan mengajakmu kesuatu tempat” aku membulatkan mataku. Asanaka lalu keluar dari kamar ini dan beberapa detik kemudian beberapa maid perempuan masuk dan menyiapkan segala keperluanku. Lihat aku sekarang menggunakkan dress putih selutut dan wedges yang berwana senada. Apa maksudnya ini?
            “Kau sudah siap?” aku melihat kearah suara itu. Asanaka? Dia memakai tuxedo berwarna hitam yang cocok dengannya. Tampan.
Sekarang apa? Aku dibawanya kedalam sebuah pesta resmi. Dengan pengawalan ketat yang jelas. Semua mata tertuju pada kami, mungkin karena wajahku yang bukan orang Asia. Aku sedikit memalingkan wajahku untuk menghilangkan rasa takutku.
Pesta itu berjalan cukup lama, rasanya aku ingin kabur dari pesta itu. Namun tangan Asanaka terus tergenggam erat dengan tanganku. Entah ide darimana, tiba-tiba Asanaka mengajakku berdansa dengannya. Aku sedikit ragu saat mengalungkan tanganku dilehaernya, namun dia memaksa. Tangannya pun sudah melingkar dipinggangku.
            “Aku ingin memberitahumu sesuatu yang begitu besar. Mungkin selama ini kau bertanya untuk apa aku membelimu” aku sedikit mengerutkan dahiku. Asanaka sedikit menggerakkan tangannya lalu mengeluarkan ponselnya lalu menempelkannya ditelingaku. Sebuah suara mulai kudengar dari ponsel itu. Suara Ayah?
‘Asanaka, aku yakin kau bisa menjaga anakku. Markas milikku sudah terendus polisi, tidak lama lagi aku akan dihukum mati, aku sudah berusaha sampai sejauh ini untuk kedua anakku. Tolong jaga Petra untukku, aku tahu kau adalah orang yang berhubungan dengan Petra tiga bulan yang lalu dan aku yakin kau bisa menjaganya. Jangan beritahu ini pada Petra, biarkan dia membenciku. PIIP’ suara berhenti. Aku membelalakkan mataku, sebuah tetesan airmata keluar. Jadi Asanaka adalah orang yang aku suka dan Ayah rela mati demi aku.
            “Aku menyukaimu Petra, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Saat ini polisi mencoba mencari kakakmu dan kau. Aku akan menjagamu sampai aku benar-benar mati”
            “Aku juga mencintaimu Asanaka. Maaf aku sudah berpikiran buruk tentangmu” ucapku sambil terisak dan memeluknya begitu erat.
‘DUAARR’ sebuah timah penas mengenai lenganku dan darah mulai merembes pada drees ku yang berwarna putih. Aku sedikit mengaduh. “Kita pergi dari sini segera Petra. Polisi tampaknya sudah mulai mengetahui keberadanmu” Asanaka segera menggendongku dipunggunya lalu keluar dari gedung itu yang sudah mulai ramai dengan suara tembakan.
Cinta itu rela mati, cinta itu rela berbuat apa saja pada orang yang dicintai. Walaupun cinta atau mati tidak dapat dipisahakan, namun itulah yang harus terjadi.

'Human' by Christina Perri

I can hold my breath
I can bite my tongue
I can stay awake for days
If that's what you want
Be your number one

I can fake a smile
I can force a laugh
I can dance and play the part
If that's what you ask
Give you all I am

I can do it
I can do it
I can do it

But I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

I can turn it on
Be a good machine
I can hold the weight of worlds
If that's what you need
Be your everything

I can do it
I can do it
I'll get through it

But I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

I'm only human
I'm only human
Just a little human

I can take so much
'Till I've had enough

Cause I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and i break down
your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human

'Let Her Go' by Passenger

Well you only need the light when it's burning low
sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go

Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missin' home
Only know you love her when you let her go
And you let her go

Staring at the bottom of your glass
Hoping one day you'll make a dream last
But dreams come slow and they go so fast

You see her when you close your eyes
Maybe one day you'll understand why
Everything you touch surely dies

But you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go

Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missin' home
Only know you love her when you let her go

Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
'Cause love comes slow and it goes so fast

Well you see her when you fall asleep
But never to touch and never to keep
'Cause you loved her too much
And you dived too deep

Well you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go

Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missin' home
Only know you love her when you let her go

And you let her go
And you let her go
Well you let her go

'Cause you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go

Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missin' home
Only know you love her when you let her go

'Cause you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go

Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missin' home
Only know you love her when you let her go

And you let her go
Only miss the

Selasa, 29 April 2014

'She Looks So Perfect' by 5 Seconds Of Summer



Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey

Simmer down, simmer down
They say we're too young now to amount to anything else
But look around
We work too damn hard for this just to give it up now
If you don't swim, you'll drown
But don't move, honey

You look so perfect standing there
In my American Apparel underwear
And I know now, that I'm so down
Your lipstick stain is a work of art
I got your name tattooed in an arrow heart
And I know now, that I'm so down

Hey, hey!
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey

Let's get out, let's get out
'Cause this deadbeat town's only here just to keep us down
While I was out, I found myself alone just thinking
If I showed up with a plane ticket
And a shiny diamond ring with your name on it
Would you wanna run away too?
'Cause all I really want is you

You look so perfect standing there
In my American Apparel underwear
And I know now, that I'm so down
I made a mixtape straight out of '94
I've got your ripped skinny jeans lying on the floor
And I know now, that I'm so down

Hey, hey!
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey

You look so perfect standing there
In my American Apparel underwear
And I know now, that I'm so down
Your lipstick stain is a work of art
I got your name tattooed in an arrow heart
And I know now, that I'm so down

Hey, hey!
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey
Hey, hey, hey, hey

You look so perfect standing there
In my American Apparel underwear
And I know now, that I'm so down (hey)
Your lipstick stain is a work of art (hey, hey)
I got your name tattooed in an arrow heart (hey, hey)
And I know now, that I'm so down (hey, hey)

Hey